Bekasi, 19 desember 2020

 

                             MAKALAH

Cyber Sabotage and Extortion

 

 


 

Ivantri Syah Putranto 12180253

Ega Dwi Prastyo 12180236

Syahrizal Mahmud 12180513

 

 

 

 

Teknik Informatika

2020

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Cyber Sabotage and Extortion ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada bidang studi EPTIK. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang CYBER CRIME bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu , selaku Hidayanti yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

Judul......................................................................................... 1

Kata Pengantar......................................................................... 2

Daftar Isi................................................................................... 3

BAB I Pendahuluan.................................................................. 4

1.         Menjelaskan tentang latar belakang masalah dari kejahatan komputer yang diangkat.. 4

BAB II Landasan teori.............................................................. 7

1.         Teori cybercrime............................................................................................................................... 7

2.         Cyberlaw yang sesuai dengan kejahatan yang diangkat........................................................ 10

BAB III Pembahasan/Analisa Kasus...................................... 11

1.         Motif Penyebab............................................................................................................................... 11

2.         Penanggulangannya....................................................................................................................... 14

BAB IV Penutup..................................................................... 18

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I PENDAHULUAN  

 

1. Menjelaskan tentang latar belakang masalah dari kejahatan komputer yang diangkat

Pemerintah Indonesia pada saat ini mengalami salah satu masalah yang serius dalam kejahatan yaitu Cybercrime. Cybercrime adalah tindak Kriminal yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer sebagai alat kejahatan utama, Cybercrime merupakan kejahatan yang memanfaatakan perkembangan teknologi komputer khususnya internet. Di Negara-negara maju kasus kejahatan seperti ini juga marak tidak hanya terjadi seperti di Amerika dan Eropa namuin juga di Negara berkembang yang ada di Asia dan Afrika.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Kasus kejahatan Pencurian Transaksi elektronik dengan via transfer  dan pencemaran nama baik melalui akun media sosial sering menjadi kasus yang terjadi hingga saat ini, Kasus kejahatan dunia maya atau yang lebih dikenal dengan cyber crime, untuk meminimalisir atau mengurangi kasus kejahatan tersebut maka diperlukan pengawasan yang ketat dan undang-undang untuk memberikan perlindungan serta jaminan keamanan untuk para pengguna teknologi informasi.

 Kegagalan pemberantasan cyber crime di Indonesia berdampak  buruk bagi pemerintah, masyarakat dan korban. Bagi Negara (Pemerintah) kegagalan tersebut dapat menghambat proses pencapaian tujuan Negara RI, Dan akan menurunkan kredebilitas pemerintah di mata warganya, bagi masyarakat kegagalan pemberantasan cyber crime akan menambah rasa kekhawatiran dan traumatik dalam pemanfaatan teknologi informasi. Bagi korban kegagalan pemberantasan cyber crime akan menambah penderitaannya karena kerugianya tidak akan bisa diganti (dipulihkan) Salah satu penyebab lain tentang kegagalan pemberantasan cyber crime di Indonesia adalah setelah pemerintah mengesahkan UndangUndang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik atau yang lebih dikenal UU ITE 2008 kejahatan cyber crime di Indonesia justru semakin meningkat dari tahun ketahun. Selain itu belum dipahaminya secara memadai tentang apakah cyber crime, bagaimanakah bentuk-bentuk cyber crime, apakah bahaya cyber crime, apakah ancaman pidana terhadap pelaku cyber crime, dan bagaiamankah penegakan cyber  law. Pemahaman cyber crime yang memadai akan mendorong setiap orang agar tidak menjadi korban. Pemahaman cyber law yang sempurna  bagi penegak hukum akan dapat membantu dalam menyelesaikan kasus cyber crime secara represif melalui penerapan hukum pidana di bidang teknologi informasi.[1]  

Kejahatan cyber crime di Indoensia tidak hanya berdampak pada dalam negeri namun juga merambat sampai keluar negeri tanpa mengenal batas teritorial Negara lain, dan tidak terikat pada ruang dan waktu sebab kejahatan cyber crime bisa dilakukan dimanapun dan kapan saja. Selain  rawan sebagai tempat sasaran Indoensia juga merupakan salah satu tempat  beroperasinya kejahatan sindikat  cyber crime Internasional seperti penipuan jual beli online, penipuan kartu kredit, pemerasan dan bahkan mengancam sistem pertahanan keamanan.

MABES POLRI (Markas Besar Polisi Republik Indoensia) pada tahun 2015, sudah melaksanakan operasi penggrebekan jaringan sindikat cyber crime Internasional dari Cina (Tiongkok) yang beroperasi di Indoensia. Sindikat tersebut melakukan motif kejahatan sebagai alat untuk menarik keuntungan berupa sejumlah uang yang di dapat dari penipuan kepada warga Cina (Tiongkok) yang tekena masalah hukum atau skandal, para sindikat tersebut berpura-pura menyamar sebagai petugas penegak hukum seperti jaksa, petugas perpajakan dan polisi, kemudian mereka mengancam dan memeras warga cina yang terkena masalah hukum tersebut untuk mengirimkan sejumlah uang ke nomer rekening yang sudah disiapkan oleh sindikat tersebut.

 Selain itu pihak kepolisian juga telah mengungkap kasus pencurian uang dari perusahaan asing dan Indoensia oleh sindikat internasional dari Nigeria yang mana juga beroperasi di Indonesia, dengan membajak  e-mail resmi dari perusahaan tersebut sindikat tersebut berpura-pura menyamar sebagai perusahaan resmi dan mengalihkan pembayaran transaksi ke nomer rekening yang telah mereka siapkan. Walaupun pemerintah sudah membuat undang-undang ITE No 11 2008 tingkat kejahatan mayantara atau cyber crime di Indonesia justru semakin meningkat di Indonesia. Berdsarkan data Norton Report tahun

2013, tingkat potensi dan resiko tindak kejahatan cyber di Indonesia sudah memasuki status darurat. Diungkapkan terdapat sekitar 400 juta korban kejahatan cyber di Indonesia tiap tahunya dengan kerugian finanasial mencapai USD 113 Miliar, sementara menurut hasil riset yang dirilis oleh Indonesia Security Response Team, di tahun 2011 lalu saja tercatat kurang lebih 1 juta serangan cyber yang ditujukan para pengguna internet di Indonesia tiap harinya. Mayoritas serangan tersebut hadir dalam bentuk malware ataupun phisisng dan lebih menyasar pada institusi perbankan dan pemerintah.  

Fakta tersebut membuktikan bahwa fasilitas internet di Indonesia masih belum aman oleh para pengguna teknologi informasi, Hal ini disebabakan fasilitas teknologi informasi di indoensia sudah memadai dan cukup lengkap namun masih lemah pada aspek pengawasan, selain itu mudahnya pemasanagan jaringan internet dan komunikasi di Indonesia dinilai merupakan faktor utama yang menyebabkan mudahnya pelaku cyber crime melakukan aksinya. Pelaku cyber crime memiliki berbagai macam motif baik secara langsung dan tidak langsung, diantaranya balas dendam, uji keahlian, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Aksi penyalahgunaan teknologi informasi tidak bisa terlihat secara fisik namun memiliki dampak yang nyata bagi para korban. 

Selain itu pelakunya juga tidak memandang usia, rata-rata diatas usia 18 tahun sampai 40 tahun dan kebanyakan dari pelaku berjenis kelamin pria. Untuk mendalami cyber crime maka terlebih dahulu memahami istilah cyber space, atau dunia maya dipandang sebagai dunia komunikasi yang berbasis komputer. Dalam hal ini, cyber space (dunia maya) dianggap sebagai sebuah realitas baru dalam kehidupan manusia yang dikenal dalam bahasa kehidupan sehari-hari sebagai Internet. 

Relaitas baru ini dalam kenyataanya terbentuk melalui jaringan komputer yang menghubungkan antar Negara atau antar benua yang berbasis protocol transmission control protocol/internet protocol. Hal ini berarti dalam sistem kerjanya, dapatlah dikatakan bahwa cyber space (internet) telah mengubah jarak dan waktu menjadi tidak terbatas. Internet digambarkan sebagai kumpulan jaringan Komputer yang terdiri dari sejumlah jaringan yang lebih kecil yang mempunyai sistem jaringan yang berbeda-beda.[2] Dalam perkembangan selanjutnya perkembangan teknologi canggih Komputer dengan jaringan Internet telah membawa manfaat besar bagi manusia. pemanfaatanya tidak saja dalam pemerintahan, dunia swasta/perusahaan, akan tetapi sudah menjangkau pada seluruh sektor  termasuk segala keperluan rumah tangga (pribadi). komputer (internet) telah membuka cakrawala baru dalam konteks kehidupan manusia baik sarana komunikasi dan informasi yang menjanjikan menembus batas-batas Negara maupun penyebaran dan petukaran ilmu pengetahuan dan gagasan kalangan ilmuan di seluruh dunia.  

Akan tetapi kemajuan teknologi informasi (internet) dan segala bentuk manfaat di dalamnya membawa dampak negatif tersendiri, dimana semakin mudahnya para penjahat melakukan aksinya yang semakin merisuakan masyarakat. Penyalahgunaan yang terjadi dalam cyber space inilah yang dikenal sebagai cyber crime atau dalam literatur lain digunakan istilah computer crime. Dari pengertian tersebut maka dapat dirumuskan bahwa computer crime merupakan perbuatan yang melawan yang dilakukan dengan memakai komputer sebagai sasaran/alat  atau komputer sebagai objek  baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab II Landasan Teori

 

 

 

 

1 Cyber Crime

Cybercrime adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan termasuk ke dalam kejahatan dunia maya antara lain adalah penipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit/carding, confidence fraud, penipuan identitas, pornografi anak, dll

Menurut brenda nawawi (2001) kejahatan cyber merupakan bentuk fenomena baru dalam tindak kejahatan sebagai dampak langsung dari perkembangan teknologi informasi beberapa sebutan diberikan pada jenis kejahatan baru ini di dalam berbagai tulisan, antara lain: sebagai “ kejahatan dunia maya” (cyberspace/virtual-space offence), dimensi baru dari “hi-tech crime”, dimensi baru dari “transnational crime”, dan dimensi baru dari “white collar crime”.  

Secara hukum di Indonesia pun telah memiliki undang- undang khusus menyangkut kejahatan dunia maya, yaitu undang ITE tahun 2008, yang membahas tentang tata Cara, batasan penggunaan computer dan sangsi yang akan diberikan jika terdapat pelanggaran. Misalnya perbuatan illegal access atau melakukan akses secara tidak sah perbuatan ini sudah diatur dalam pasal 30 undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik disebutkan, bahwa: “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain ayat (1)) dengan cara apapun, (ayat (2)) dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, (ayat (3)) dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol system pengaman

                

2.1.1 Jenis –Jenis Cybercrime. 

Cybercrime pada dasarnya tindak pidana yang berkenaan dengan informasi, sistem informasi (information system) itu sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian/pertukaran informasi itu kepada pihak lainnya (transmitter/originator to recipient) menurut (sutanto) dalam bukunya tentang cybercrime-motif dan penindakan cybercrime terdiri dari dua jenis, yaitu: 

a.        Kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (TI) sebagai fasilitas. Contoh-contoh dari aktivitas cybercrime jenis pertama ini adalah pembajakan (copyright atau hak cipta intelektual, dan lain-lain); pornografi; pemalsuan dan pencurian kartu kredit (carding); penipuan lewat e-mail; penipuan dan pembobolan rekening bank; perjudian on line; terorisme; situs sesat; materi-materi internet yang berkaitan dengan sara (seperti penyebaran kebencian etnik dan ras atau agama); transaksi dan penyebaran obat terlarang; transaksi seks; dan lain-lain

b.        Kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi (ti) sebagai sasaran. Cybercrime jenis ini bukan memanfaatkan komputer dan internet sebagai media atau sarana tindak pidana, melainkan menjadikannya sebagai sasaran. Contoh dari jenis-jenis tindak kejahatannya antara lain pengaksesan ke suatu sistem secara ilegal (hacking), perusakan situs internet dan server data (cracking), serta defecting.

 

Menurut freddy haris, cybercrime merupakan suatu tindak pidana dengan karakteristikkarakteristik sebagai berikut: 

a.        Unauthorized access (dengan maksud untuk memfasilitasi kejahatan); 

b.        Unauthorized alteration or destruction of data;

c.        Mengganggu/merusak operasi komputer

 

 

2.1.2 Kualifikasi CyberCrime

Kualifikasi kejahatan dunia maya (cybercrime), sebagaimana dalam buku Barda nawawi arief, adalah kualifikasi (cybercrime) menurut convention on cybercrime 2001 di Budapest Hongaria, yaitu: illegal access: yaitu sengaja memasuki atau mengakses sistem komputer tanpa hak. Sedangkan kualifikasi kejahatan dunia maya (cybercrime), sebagaimana dalam buku barda nawawi arief, adalah kualifikasi (cybercrime) menurut Convention on cybercrime 2001 di Budapest Hongaria, yaitu:

a.      Illegal interception: yaitu sengaja dan tanpa hak mendengar atau menangkap secara diamdiam pengiriman dan pemancaran data komputer yang tidak bersifat publik ke, dari atau di dalam sistem komputer dengan menggunakan alat bantu.

b.     Data interference: yaitu sengaja dan tanpa hak melakukan perusakan, penghapusan, perubahan atau penghapusan data komputer.

c.      System interference: yaitu sengaja melakukan gangguan atau rintangan serius tanpa hak terhadap berfungsinya sistem komputer.

d.     Misuse of devices: penyalahgunaan perlengkapan komputer, termasuk program komputer, password komputer, kode masuk (access code).

e.      Computer related forgery: pemalsuan (dengan sengaja dan tanpa hak memasukkan mengubah, menghapus data autentik menjadi tidak autentik dengan maksud digunakan sebagai data autentik)

f.      Computer related fraud: penipuan (dengan sengaja dan tanpa hak menyebabkan hilangnya barang/kekayaan orang lain dengan cara memasukkan, mengubah, menghapus data komputer atau dengan mengganggu berfungsinya komputer/sistem komputer, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi bagi dirinya sendiri atau orang lain);

g.     Content-related offences: delik-delik yang berhubungan dengan pornografi anak (child pornography);

h.     Offences related to infringements of copyright and related rights: delik-delik. Yang terkait dengan pelanggaran hak cipta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2. Cyber Law

Cyber Law merupakan istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan TI.Cyber Law adalah Hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet.Cyber Law merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subjek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya.

Ruang lingkup Cyber Law,

      Menurut Jonathan Rosenoer dalam Cyber law,the law of internet mengingatkan tentang ruang lingkup dari cyber law diantaranya,

  1. Hak Cipta (Copy Right).
  2. Hak Merk (Trademark).
  3. Pencemaran nama baik (Defamation).
  4. Fitnah, Penistaan, Penghinaan (Hate Speech).
  5. Serangan terhadap fasilitas komputer (Hacking, Viruses, IIlegal Access).
  6. Pengaturan sumber daya internet seperti IP-Address, domain name.
  7. Kenyamanan Individu (Privacy).
  8. Isu Prosedural (yurisdiksi,pembuktian,penyidikan), transaksi elektronik dan digital,pornografi.

      Perkembangan teknologi yang sangat pesat, membutuhkan pengaturan hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi tersebut. Sayangnya, hingga saat ini banyak negara belum memiliki perundang-undangan khusus di bidang teknologi informasi, baik dalam aspek pidana maupun perdatanya.Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana menjaring berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku karena ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku saat ini masih belum lengkap.

      Banyak kasus yang membuktikan bahwa perangkat hukum di bidang TI masih lemah. Seperti contoh, masih belum dilakuinya dokumen elektronik secara tegas sebagai alat bukti oleh KUHP. Hal tersebut dapat dilihat pada UU No8/1981 Pasal 184 ayat 1 bahwa undang-undang ini secara definitif membatasi alat-alat bukti hanya sebagai keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa saja. Demikian juga dengan kejahatan pornografi dalam internet, misalnya KUHP Pidana pasal 282 mensyaratkan bahwa unsur pornografi dianggap kejahatan jika dilakukan di tempat umum.

      Hingga saat ini, di negara kita ternyata belum ada pasal yang bisa digunakan untuk menjerat penjahat cybercrime. Untuk kasus carding misalnya, kepolisian baru bisa menjerat pelaku kejahatan komputer dengan pasal 363 soal pencurian karena yang dilakukan tersangka memang mencuri data kartu kredit orang lain.

 

 

BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

 

1. Motif Penyebab

Pada penelitian kali ini peneliti akan menyajikan data yang diperoleh dengan lengkap dan terperinci dari hasil observasi dan wawancara semi terstruktur yang telah dilakukan oleh peneliti pada objek penelitian yaitu organisasi komunitas #IndonesiaTanpaJIL. 

Selanjutnya, data-data yang peneliti peroleh dari observasi dan wawancara semi terstruktur tersebut akan di analisis menggunakan teknik analisis data model AIDA yaitu Attention, Interest, Desire, Action, seperti yang telah peneliti sampaikan pada sub bab metodologi pada Bab 1.  Dengan menggunakan model AIDA ini maka peneliti bisa menganalisis sebagai

berikut : 

1.   Attention (Perhatian)

Perhatian #IndonesiaTanpaJIL yang pertama dan utama adalah terhadap segala bentuk pemikiran-pemikiran dan pemahaman-pemahaman  mengenai Islam Liberal mengenai syariat Islam yang dipelintir dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan AlHadits,  yang mulai merebak di kalangan anak muda yang dimotori oleh JIL (Jaringan Islam Liberal).

 

 

75

2.   Interest (Minat/Ketertarikan)

Minat/Ketertarikan #IndonesiaTanpaJIL adalah menarik anak-anak muda sebagai generasi penerus untuk kembali ke syariat Islam yang benar  yaitu sesuai Al-Qur’an dan  Al-Hadits serta terbebas dari segala pengaruh pemikiran Islam Liberal yang dibawa oleh JIL melalui media sosial Facebook, Twitter dan Youtube. Jadi Target Audience/TA dari #IndonesiaTanpaJIL adalah remaja/anak muda.

 

3.   Desire (Keinginan)

Keinginan dari #IndonesiaTanpaJIL yaitu ingin menghapuskan segala pengaruh JIL mengenai pemikiran dan pemahaman Islam Liberal  yang ada di masyarakat dengan memanfaatkan media sosial Facebook, Twitter dan Youtube sebagai alat propaganda gerakan.

 

4.   Action (Tindakan)

Tindakan yang dilakukan #IndonesiaTanpaJIL melalui media sosial yang dipakai yaitu  Facebook, Twitter dan Youtube untuk meng-counter pemahaman Islam Liberal adalah  :  

a)      Share bahaya JIL dan segala pemikiran-pemikirannya

mengenai         Islam    Liberal             yang     dianggap

#IndonesiaTanpaJIL tidak sesuai dengan syariat Islam

yang sebenarnya melalui Facebook dan Twitter kepada target audience-nya.

b)      Me-retweet/mempromokan akun-akun yang sedang kultwit mengenai tema Sepilis (Sekulerisme,

Pluralisme, Liberalisme) melalui Twitter.

c)       Share link-link berita dari media Islam untuk mengcounter pemikiran-pemikiran Sepilis melalui Twitter.

d)      Merespon isu-isu yang sedang berkembang, terutama isu-isu agama Islam dan Sepilis melalui Twitter.

e)       Mem-posting segala informasi seputar kegiatan #ITJ di chapter/daerah melalui Facebook dan Twitter.

f)       Mengunggah video kegiatan, video iklan, dan video testimoni melalui Youtube.

g)      Diskusi dengan troops mengenai agama Islam dan Sepilis melalui Facebook dan Twitter. 

h)      Mengirim berbagai file untuk disebarkan kepada troops di daerah/chapter untuk bersama-sama memerangi pemahaman Islam Liberal yang dibawa oleh JIL dengan menerapkan prinsisp Do It Yourself (D.I.Y). Misalnya penyebaran logo #IndonesiaTanpaJIL dan format flyer yang bisa diunduh dan  digunakan oleh siapapun untuk meng-counter pemikiran Islam Liberal melalui online.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2. Penanggulangan

Kebijakan penanggulangan cyber crime dengan hukum pidana termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dari criminal policy (kebijakan penanggulangan kejahatan). Dilihat dari sudut criminal policy, upaya penanggulangan kejahatan (termasuk penanggulangan cyber crime) tidak dapat dilakukan semata-mata secara parsial dengan hukum pidana (sarana penal), tetapi harus pula ditempuh dengan pendekatan integral/sistemik.[3] Sebagai salah satu bentuk high tech crime yang dapat melampaui batas-batas negara (bersifat transnational/transborder), merupakan hal yang wajar jika upaya penanggulangan cyber crime juga harus ditempuh dengan pendekatan teknologi (techno prevention). Di samping itu, diperlukan pula pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif, dan bahkan pendekatan global melalui kerjasama internasional.

Operasionalisasi kebijakan penal meliputi kriminalisasi, dekriminalisasi, penalisasi dan depenalisasi. Penegakan hukum pidana tersebut sangat tergantung pada perkembangan politik hukum, politik kriminal, dan politik sosial. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak hanya memperhatikan hukum yang otonom, melainkan memperhatikan juga masalah kemasyarakatan dan ilmu perilaku sosial.[4]

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana).[5] Jadi pada hakikatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) sehingga itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya kebijakan formulasi.

Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk:[6][7]

1.     Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai;

2.     Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari;

3.     Penelitian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritasprioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;

4.     Pengaruh social dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.

Sudarto menyatakan dalam melakukan kriminalisasi suatu perbuatan perlu diperhatikan empat hal berikut:[8]

1.     Penggunaan hukum pidana perlu memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila;

2.     Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana seyogyanya merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan/atau spiritual) pada warga masyarakat;

3.     Penggunaan hukum pidana perlu mempertimbangkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle);

4.     Penggunaan hukum pidana perlu pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum pidana, jangan sampai ada kelebihan beban tugas (overbelasting).

Berkenaan dengan kebijakan kriminalisasi perbuatan dalam dunia cyber (maya), dalam lokakarya/workshop mengenai computer related crime yang diselenggarakan dalam kongres PBB X pada bulan April 2000, dinyatakan bahwa negara-negara anggota harus berusaha melakukan harmonisasi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan kriminalisasi, pembuktian, dan prosedur (states should seek harmonization of the relevant provisions on criminalization evidence and procedure). Jadi masalahnya bukan sekedar bagaimana membuat kebijakan hukum pidana (kebijakan kriminalisasi/formulasi/legislasi) di bidang penanggulangan cyber crime tetapi bagaimana ada harmonisasi kebijakan penal di berbagai negara. Ini berarti bahwa kebijakan kriminalisasi tentang masalah cyber crime bukan semata-mata masalah kebijakan nasional Indonesia, tetapi juga terkait dengan kebijakan regional dan internasional.

Melakukan kriminalisasi cyber crime ada lima hal yang perlu diperhatikan oleh pembentuk undang-undang (legislator), yaitu:[9]

1.     Kriminalisasi harus merupakan upaya yang mendukung tujuan akhir kebijakan kriminal, yaitu melindungi dan mensejahterakan masyarakat;

2.     Perbuatan yang akan dikriminalisasi tersebut benar-benar dicela oleh masyarakat;

3.     Perlu diperhitungkan tentang keuntungan dan kerugian kriminalisasi;

4.     Perlu diupayakan agar tidak terjadi over-kriminalisasi yang dapat berpengaruh secara sekunder terhadap kepentingan masyarakat;

5.     Perlu disesuaikan antara kemampuan penegak hukum dengan penegakan hukum.

Kebijakan kriminalisasi atau formulasi hukum pidana di Indonesia yang berkaitan dengan masalah cyber crime, selama ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:7

1.     Dalam KUHP

Perumusan tindak pidana di dalam KUHP kebanyakan masih bersifat konvensional dan belum secara langsung dikaitkan dengan perkembangan cyber crime, selain itu juga terdapat berbagai kelemahan dan keterbatasan dalam menghadapi perkembangan teknologi dan high tech crime yang sangat bervariasi. Contoh dalam hal menghadapi masalah pemalsuan kartu kredit dan transfer dana elektronik saja, KUHP mengalami kesulitan karena tidak adanya aturan khusus mengenai hal tersebut. Ketentuan yang ada hanya mengenai: (a) sumpah/keterangan palsu (Pasal 242); (b) pemaluan mata uang dan uang kertas (Pasal 244252); (c) pemalsuan materai dan merk (Pasal 253-262); dan (d) pemalsuan surat (Pasal 263276).

2.     Undang-undang di luar KUHP

a.      UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, mengancam pidana terhadap perbuatan: (1) memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi (Pasal 50 jo.22); (2) menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi (Pasal 55 jo.38); (3) menyadap informasi melalui jaringan telekomunikasi (Pasal 56 jo.40).

b.     Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pasal 38 UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; dan pasal 44 ayat (2) UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; mengakui electronic record sebagai alat bukti yang sah.

c.      UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, antara lain mengatur tindak pidana:

(1)    Pasal 57 jo. 36 ayat (5) mengancam pidana terhadap siaran yang : a) bersifat fitnah, menghasut, menyesatkandan/atau bohong; b) menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c) mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.

(2)    Pasal 57 jo. 36 ayat (6) mengancam pidana terhadap siaran yng memperolokkan, merendahkan, melecehkan, dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

(3)    Pasal 58 jo. 46 ayat (3) mengancam pidana terhadap siaran iklan niaga yang didalamnya memuat: a) promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama; ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat orang lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain; b) promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif; c) promosi rokok yang memperagakan wujud rokok; d) hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau e) eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun.

d.     UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE), Bab VII Perbuatan yang dilarang, memuat ketentuan pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan:

(1)    Melanggar kesusilaan; memiliki muatan perjudian; memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman (Pasal 27).

(2)    Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik; menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) (Pasal 28)

(3)    Mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29).

(4)    Mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain; mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan tujuan memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik; mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan (Pasal 30).

(5)    Melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik; melakukan intersepsi elektronik  atas transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik (Pasal 31)

(6)    Mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik; memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak; mengakibatkan terbukanya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya (Pasal 32).

(7)    Terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya (Pasal 33).

(8)    Memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki (a) perangkat keras atau perangkat lunak yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 27-33; (b) sandi lewat komputer, kode akses, atau hal lain yang sejenis dengan itu yang ditujukan agas sistem elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan dalam Pasal 27-33 (Pasal 34).

(9)    Melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olahdata yang otentik (Pasal 35).

(10) Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27-34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain (Pasal 36).

(11) Melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27-36 diluar wilayah Indonesia terhadap sistem elektronik yang berada di wilayah Yurisdiksi Indonesia (Pasal 37).

Kriminalisasi cyber crime di Indonesia khususnya dalam UU-ITE dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu perbuatan yang menggunakan komputer sebagai sarana kejahatan, dan perbuatanperbuatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran kejahatan. Kejahatan yang menggunakan komputer sebagai sarana adalah setiap tindakan yang mendayagunakan data komputer, sistem komputer, dan jaringan komputer sebagai alat untuk melakukan kejahatan di ruang maya bukan ruang nyata. Kejahatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran adalah setiap perbuatan dengan menggunakan komputer yang diarahkan pada data komputer, sistem komputer, atau jaringan komputer, atau ketiganya secara bersama-sama. Perbuatan tersebut dilakukan di ruang maya bukan ruang nyata, sehingga seluruh aktivitas yang dilarang oleh peraturan perundangundangan terjadi di ruang maya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV Penutup

Dalam upaya penanggulangan cyber crime, Resolusi Kongres PBB VIII tahun 1990 mengenai CRC (computer related  crime) mengajukan beberapa kebijakan antara lain:[10]

1.     Mengimbau negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah diantaranya:

a.      Melakukan modernisasi hukum pidana materiil dan hukum acara pidana;

b.     Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer;

c.      Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka (sensitif) warga masyarakat, aparat pengadilan, dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer;

d.     Melakukan upaya-upaya pelatihan (training) bagi para hakim, pejabat, dan aparat penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cyber crime;

e.      Memperluas rule of ethics dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informatika;

f.      Mengadopsi kebijakan perlindungan korban cyber crime sesuai dengan Deklarasi PBB mengenai korban, dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong korban melaporkan adanya cyber crime.

2.     Mengimbau negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam upaya penanggulangan cyber crime;

3.     Merekomendasikan kepada Komite pengendalian dan Pencegahan Kejahatan (Committee on Crime Prevention and Control) PBB untuk:

a.      Menyebarluaskan pedoman dan standar untuk membantu negara anggota menghadapi cyber crime di tingkat nasional, regional, dan internasional;

b.     Mengembangkan penelitian dan analisis lebih lanjut guna menemukan cara-cara baru menghadapi problem cyber crime di masa yang akan dating;

c.      Mempertimbangkan cyber crime sewaktu mengimplementasikan perjanjian ekstradisi dan bantuan kerja sama di bidang penanggulangan kejahatan.

 

 



[1] ASPEK HUKUM PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA  Widodo

[2] Kenny Wiston, 2002, the internet issues of jurisdiction and controversies surrounding domain names, bandung, citra aditya hlm vii 

[3] Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 125.

[4] Bambang Poernomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 52

[5] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 240.

[6] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.

[7] .

[8] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 44-48.

[9] Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, hlm. 60-61. 7 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan…, hlm. 127-128.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini